Surabaya - Dalam seminar nasional ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh Dewan Pengurus Wilayah IAIE Jawa Timur di Namirah Syariah Hotel, Surabaya pada hari Kamis (09/12/21). IAEI Komisariat UMM berkesempatan ikut serta secara langsung. Seminar kali ini mengangkat bahasan mengenai peran pembiayaan infrastruktur syariah dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs). Rangkaian acara ini juga sekaligus mengawali rapat kerja bagi Dewan Pimpinan Wilayah IAEI Jawa Timur untuk semakin menguatkan program-program unggul IAEI.
Membicarakan tentang SDGs, hal ini merupakan aksi global yang disusun para pemimpin dunia untuk mengentaskan masalah ekonomi seperti kemiskinan dan kesenjangan sosial. SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 target yang disusun hingga 2030 mendatang. Secara umum tujuan dan target tersebut adalah kesepakatan pembangunan global yang dimaksud tidak hanya kemiskinan masyarakat namun juga pemulihan lingkungan dan iklim secara global.
Seminar yang dilakukan secara hybrid (daring & luring) ini mendatangkan langsung Prof. Dr Raditya Sukama M.A selaku guru besar ekonomi Islam sebagai keynote speech di awal acara. ia mengatakan bahwa upaya mewujudkan SDGs dan infrastruktur saling terikat dan berhubungan. Pengembangan dan pembangunan infrastruktur yang erat kaitannya dengan aktifitas produksi, distribusi hingga konsumsi masyarakat merupakan bagian dari upaya mewujudkan SDGs. ia juga menandaskan bila sistem keuangan Islam pada hakikatnya mampu untuk mewujudkan SDGs. Fondasi utama keuangan syariah yang berlandaskan Maqashid Syariah akan mampu memberikan solusi-solusi bagi pemenuhan target SDgs tersebut. SDGs juga bagian dari perwujudan konsep yang sesuai dengan sistem syariah untuk melepaskan masyarakat dari kemiskinan dan kesenjangan sosial dari segala bidang.
Bila melihat kondisi Indonesia saat ini, masyarakat Indonesia lebih berpotensi menjadi konsumen dibandingkan produsen (supplier). Sebagai contoh, Indonesia menjadi ladang segar dalam pembelian produk-produk luar negeri yang mengusung brand Halal. Indonesia dinilai menjadi negara yang sangat peduli terkait agama, sehingga sikap komodifikasi agama dalam barang dan jasa yang ditawarkan memberikan peningkatan potensi terjual pada masyarakat Indonesia. Indonesia memang masih harus berlapang dada dalam persaingan dagang secara umum dibandingkan negara-negara asia lainnya. Selain kemampuan menciptakan strategi perdagangan, di lain sisi Indonesia memiliki tantangan juga dalam pembangunan infrastruktur yang memberi kontribusi dalam lemahnya kemampuan bersaing. Permasalahan terkait disparitas, daya saing nasional, urbanisasi yang tidak terkontrol, serta kemampuan produksi di tiap daerah menjadi tugas yang harus diselesaikan.
Instrumen potensial dalam sistem keuangan Islam ialah ZISWAF. Masing-masing dari jenis instrumen berperan aktif untuk memberikan solusi atas permasalahan yang disebutkan di atas. Instrumen Zakat dan Wakaf produktif memiliki kekuatan finansial luar biasa yang mampu diberdayakan demi pemberdayaan sosial, lingkungan dan masyarakat. Sehingga, Indonesia perlu inovasi dalam membangun infrastruktur melalui instrumen-instrumen keuangan Islam yang sudah banyak dimodifikasi dengan baik dengan tetap menjunjung tinggi ketetapan dari fondasinya, yakni maqashid syariah.
Pada kesempatan berikutnya, seminar yang dimoderatori oleh Dr. Fatmah M.M. RSA menghadirkan empat narasumber dari berbagai kalangan yang selanjutnya akan membahas sesuai bidang mereka yang terkait dengan tema seminar. Pada sesi pertama diawali oleh Bapak Muhammad Yasin, selaku Kepala Bapedda Jawa Timur menggantikan Gubernur Jawa Timur untuk menjelaskan terkait kebijakan dalam hal pembangunan nasional di Jawa Timur. Beliau menyampaikan bahwa luasnya Jawa Timur secara topografi dan demografi menjadikan Jawa Timur kaya akan potensi kekayaan alam hingga budaya. Oleh sebab itu pembangunan infrastruktur bagi masyarakat juga harus terselenggara secara merata. Berbagai upaya sudah mulai digerakkan demi mewujudkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Beberapa di antaranya ialah salah satu program nawa bakti Gubernur Jawa Timur yakni pengelolaan air bersih untuk minum, pemukiman masyarakat terutama rumah tangga, serta sanitasi yang layak. Pemerintah provinsi memiliki target pembangunan infrastruktur pemukiman sebesar 90,15% dari yang saat ini sudah tercapai sekitar 60%. Target ini dapat tercapai bila korporasi yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan perekonomian juga ikut mendukung melalui peran aktifnya dalam siklus ekonomi. Dalam hal ini pemerintah cenderung menjadi fasilitator pendukung.
Narasumber lainnya, Bapak Heliantopo, selaku direktur sekuritisasi dan pembiayaan PT Sarana Multigriya Finance mempresentasikan dalam bidangnya di ranah perbankan. Sejalan dengan narasumber sebelumnya, Beliau mengatakan bahwa sektor perumahan nasional juga bagian dari infrastruktur yang perlu didorong, sebab ini merupakan hal pokok yang dibutuhkan masyarakat. Fakta yang disampaikan beliau terkait pembiayaan perumahan ialah bahwa rasio KPR di negara Indonesia masih cukup jauh dibandingkan dengan negara asia lainnya. Kondisi ini berhadapan dengan tantangan dalam penyediaan pembiayaan. Tidak berhenti di situ, akibat pandemi yang sudah berlangsung hingga saat ini, Beliau memprediksi tantangan penyediaan pembiayaan di tahun berikutnya adalah dikarenakan para pengembang yang fokus untuk menjual persediaan rumah yang belum terjual dan konsumen yang masih menahan tingkat konsumsi selama pandemi berlangsung. Ini dibuktikan dengan indeks penjualan ritel di Indonesia -1,8%. Pada akhirnya PT SMF sebagai perusahaan penggerak pembiayaan perumahan hanya dapat memberikan dukungan bagi lembaga yang masih aktif untuk memberikan pembiayaan KPR bagi masyarakat.
Bapak Pandre Permana, yang merupakan direktur eksekutif bisnis PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia, juga ikut menjelaskan alur skema investasi KPBU dan penjaminan infrastruktur yang berbasis syariah serta menyebutkan beberapa tantangan pembiayaan proyek infrastruktur. Tantangan tersebut berasal dari Feasibiblity, Bankability, Risiko nilai tukar dan kondisi pandemi saat ini.
Hal baru kemudian disampaikan oleh Sekretaris I DPW IAEI Jawa Timur, Ibu Dr. Khairunnisa Musari, M.MT, dari segi sejarah instrumen Islam dalam keuangan Islam. Beliau memulai dengan menyatakan bahwa kecenderungan para ekonom syariah bukan berasal dari sejarawan. Hal ini berimplikasi pada kemampuan dalam memaknai pola sistem ekonomi Islam di masa lalu. Sistem ekonomi Islam bukan hal yang baru ditemukan, namun suatu hal yang perlu dipelajari dari sistem ekonomi masa lalu yang pernah berjaya dan dipakai oleh umat Islam terdahulu. Sehingga, memahami sejarahnya adalah suatu keharusan.
Menurut catatan sejarah keuangan Islam, Instrumen keuangan Islam yang dipakai sebagai bagian dari cara untuk mengentaskan kemiskinan adalah Sakk dan Esham. Sakk atau bisa disebut dengan cek/voucher umumnya digunakan Khalifah Umar untuk memberikan kebutuhan konsumsi pokok masyarakat. Sakk yang telah diberikan kepada masyarakat menandakan bahwa masyarakat berhak mendapatkan bahan pangan pokok dari pemerintah dengan memberikan Sakk tersebut di kantor pemerintah yang membagikan bahan pokok tersebut.
Dalam pembangunan infrastruktur, Sejarah Islam juga mencatat terdapat instrumen keuangan Islam bernama Esham yang hadir di masa Kekaisaran Ottoman, Turki. Esham atau bisa disebut dengan Saham yang merupakan sekuritisasi syariah pertama dalam sejarah keuangan Islam. Di masa lalu, Esham menjadi bagian dari cara pemerintah untuk menggalang dana masyarakat dalam kurun waktu yang singkat. Pemerintahan Ottoman mengeluarkan sertifikat untuk meminjam dana masyarakat atau singkatnya Esham adalah surat hutang yang dikeluarkan oleh pemerintah. Belajar dari sejarah, maka Esham ini bisa disandingkan dengan perpetual cash waqf yang mampu menjadi dana umat demi pengembangan infrastruktur negara tanpa harus mensyaratkan adanya underlying asset seperti Sukuk Waqf yang saat ini sudah ada di Indonesia. Sebagai penutup, Dr Khairunnisa Musari mengharapkan bila sistem-sistem keuangan syariah yang nantinya akan diterapkan sebaiknya tidak mewariskan skema penciptaan utang baru untuk masyarakat di masa selanjutnya.
IAEI Komisariat UMM sepenuhnya mendukung berbagai instrumen keuangan Islam baik yang sudah diterapkan maupun konsep-konsep baru yang lebih baik dan brilian. Namun, sejalan dengan penuturan para narasumber bahwa sistem keuangan Islam tidak hanya memenuhi kewajiban sharia compliance saja akan tetapi menjadi gudang solusi atas permasalahan ekonomi tanpa menciptakan masalah baru seperti utang dan ketidakpastian. IAEI Komisariat UMM berharap instrumen ini tidak hanya sebatas materi diskusi saja namun bisa menjadi bagian dari banyaknya kebijakan pemerintah di bidang ekonomi. Ini juga menjadi PR khusus bagi IAEI Komisariat UMM untuk tetap mengerahkan kemampuan dalam membantu masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan pencapaian Sustainable Development goals. (/RAH)